![]() |
China kuasai 90% logam tanah jarang dunia dan mulai batasi ekspor. Indonesia punya potensi besar, tapi belum punya teknologi dan strategi matang. (Foto: AdobeStock) |
China kembali mengguncang pasar global. Negeri Tirai Bambu itu memperketat izin ekspor terhadap tujuh jenis logam tanah jarang (rare earth elements/REE), termasuk samarium, gadolinium, dan disprosium.
Tak hanya mineral mentah, China juga membatasi ekspor magnet permanen—komponen vital dalam industri kendaraan listrik, energi bersih, dan pertahanan militer.
Kebijakan ini memperkuat posisi China sebagai pemain dominan, dengan 70% produksi global dan 90% kapasitas pemrosesan REE. Negara-negara Barat pun dibuat waspada.
Jet tempur F-35, misalnya, membutuhkan lebih dari 400 kilogram REE, sementara kapal selam kelas Virginia bisa mengandung lebih dari 4 ton. Tanpa pasokan dari China, industri strategis dunia terancam mandek.
Di sisi lain dunia, Indonesia menyimpan potensi besar logam tanah jarang. Cadangan tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian besar merupakan mineral ikutan dari penambangan timah seperti monasit dan xenotime, terutama di Bangka Belitung.
Lumpur Lapindo di Sidoarjo juga diyakini mengandung cerium dalam jumlah besar.
Namun, sampai hari ini, Indonesia belum mampu memanfaatkan potensi tersebut secara maksimal. Tanpa teknologi pengolahan dan fasilitas pemurnian, REE di tanah air masih dianggap limbah, bukan komoditas strategis.
Padahal menurut Badan Geologi Kementerian ESDM, potensi cadangan nasional mencapai 1,5 miliar ton.
“Kita punya nikel, timah, emas, tapi semuanya dijual mentah. Di luar negeri diolah jadi barang canggih, lalu dijual balik ke kita,” tulis seorang pengguna X, mencerminkan kekhawatiran publik terhadap stagnasi hilirisasi.
China Sudah Beberapa Langkah di Depan
Kondisi ini berbanding terbalik dengan strategi jangka panjang China. Sejak 1980-an, Beijing telah menggelontorkan subsidi besar, membebaskan industri dari regulasi lingkungan yang ketat, dan memfasilitasi pinjaman murah.
Strategi itu berhasil menggusur pesaing seperti Amerika Serikat, yang bahkan sempat menutup tambang Mountain Pass karena kalah bersaing secara biaya.
Kini, China tak hanya memproduksi REE, tetapi juga mendominasi rantai nilai dari pemurnian hingga manufaktur magnet.
Pada 2021, tiga perusahaan besar di sektor ini digabungkan untuk mengontrol lebih dari 70% REE berat di dalam negeri. Langkah ini membuat China kian kuat dalam menetapkan harga pasar global.
Menurut Dr. Eugene Gholz dari University of Notre Dame, China telah menggunakan REE sebagai “senjata diplomasi yang lebih halus dari sanksi ekonomi.” Sementara itu, negara seperti Indonesia, meskipun kaya sumber daya, belum punya pijakan strategis.
Sektor Strategis Dunia dalam Posisi Rentan
Ketergantungan pada China menimbulkan risiko nyata di sektor pertahanan dan keamanan. Jet tempur generasi kelima sangat bergantung pada magnet berbasis samarium-kobalt, begitu pula rudal Tomahawk dan kapal selam canggih.
Letnan Jenderal Thomas James dari militer AS menyebut, “Tanpa pasokan LTJ yang stabil, kemampuan kami untuk memproduksi senjata canggih bisa terhenti.”
Bukan hanya militer, sektor kendaraan listrik dan energi terbarukan juga terdampak. Neodymium dan disprosium adalah bahan kunci motor EV dan turbin angin.
Ketika China menutup keran ekspor, jalur perakitan Ford dan General Motors sempat terganggu. Beberapa pabrik di Eropa bahkan berhenti beroperasi.
“Ketergantungan pada China adalah tantangan keamanan energi baru,” kata Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol.
Indonesia, walaupun sudah memimpin dalam industri baterai nikel, belum memanfaatkan REE untuk motor listrik.
Cerium dan monasit belum memasuki tahap hilirisasi, padahal pasar global REE diproyeksikan naik dari US$792 juta pada 2024 menjadi lebih dari US$1 miliar pada 2033.
Dunia Bergerak, Indonesia Masih Merancang Peta Jalan
Negara-negara maju telah menyadari bahaya ketergantungan tunggal. Amerika Serikat menyuntikkan ratusan juta dolar untuk membangun rantai pasok domestik.
MP Materials menerima US$58,5 juta untuk membangun fasilitas magnet di Texas, dan Lynas USA mendapatkan US$258 juta.
Pentagon mengucurkan total US$439 juta sejak 2020 untuk membangun ekosistem “dari tambang ke magnet.”
Di Eropa, Critical Raw Materials Act (CRMA) dirilis pada 2024, menargetkan 10% produksi, 40% pemrosesan, dan 15% daur ulang REE secara mandiri sebelum 2030. Eropa juga membatasi ketergantungan pada satu negara (yakni China) maksimal 65%.
Sementara itu, Indonesia baru mulai merancang roadmap industri REE. Pemerintah tengah menyusun Instruksi Presiden untuk mempercepat eksplorasi dan hilirisasi.
Salah satu teknologi yang dijajaki adalah phytomining—menggunakan tanaman untuk menyerap logam dari tanah. Namun ini masih pada tahap riset, jauh dari skala industri.
Harapan Lepas dari Cengkeraman Beijing
Munculnya teknologi baru menjadi harapan untuk mengurangi ketergantungan pada China. Peneliti di Laboratorium Nasional Ames (AS) mengembangkan magnet berbasis mangan-bismut tanpa REE.
Logam meteorit seperti tetrataenite (besi-nikel) juga menunjukkan potensi serupa. Di sektor EV, beberapa perusahaan mengembangkan motor listrik berbasis kumparan tembaga.
Apple bahkan telah menerapkan sistem robotik untuk mendaur ulang magnet dari perangkat lama, mengurangi kebutuhan REE baru hingga 90%.
Indonesia juga mulai melirik konsep daur ulang ini, namun keterbatasan teknologi dan biaya masih menjadi tantangan besar.
Dominasi China di sektor REE menciptakan paradoks global. Semakin kuat kontrol yang mereka miliki, semakin keras dunia mendorong diversifikasi.
Tapi membangun rantai pasok baru membutuhkan waktu panjang—di AS, diperkirakan antara 10 hingga 29 tahun untuk bisa mandiri dari tambang hingga magnet.
Indonesia, yang memiliki cadangan REE terbesar kelima di dunia, harus segera menentukan arah.
Tanpa strategi yang jelas, infrastruktur pendukung, dan investasi besar, Indonesia bisa kembali jatuh dalam pola lama: hanya menjadi pengekspor bahan mentah, sementara nilai tambah dinikmati negara lain.
Peluangnya besar, tapi tantangannya juga tidak kecil. Indonesia kini dihadapkan pada pertanyaan besar: akankah jadi pemain strategis dalam industri masa depan, atau tetap menjadi “ladang bahan baku” bagi negara lain?
0Komentar